Jumat, 28 Oktober 2011

Berhias Dan Berdandan Bagi Muslimah, Bolehkah?








Islam memperkenankan kepada setiap muslim, bahkan menyuruh supaya geraknya baik, elok dipandang dan hidupnya teratur dengan rapi untuk menikmati perhiasan dan pakaian yang telah dicipta Allah.

Adapun tujuan pakaian dalam pandangan Islam ada dua macam; yaitu, guna menutup aurat dan berhias. Ini adalah merupakan pemberian Allah kepada umat manusia seluruhnya, di mana Allah telah menyediakan pakaian dan perhiasan, kiranya mereka mau mengaturnya sendiri. Alah SWT berfirman:

"Hai anak-cucu Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid dan makanlah dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan (boros)." (al-A'raf: 31).

"Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga rezeki-rezeki yang baik (halal)?" (al-A'raf: 32)



Berhias atau berdandan adalah sifat fitrah seorang wanita, dimana secara naluri para wanita umumnya punya kecendurngan untuk tampil cantik dan menarik. Ini barangkali berhubungan dengan jiwa wanita yang suka pada keindahan dan kebersihan ketimbang laki-laki. Naluri ini adalah karunia Allah yang harus disyukuri.

Dalam pelaksanaannya, naluri untuk tampil cantik dan berhias ini telah Allah berikan juklaknya, sehingga tidak salah jalan yang hanya akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan bagi pelakunya.

Ini mirip dengan naluri untuk makan yang merupakan semua karunia yang harus disyukuri. Namun naluri itu perlu dibuatkan koridornya agar tidak mencelakakan diri sendiri. Misalnya Allah melarang untuk memakan makanan yang merusak diri sendiri dan juga yang menghilangkan akal pikiran. Semuai itu diberlakukan agar nikmat ini terjaga dan berfaedah, bukan merusak dan manghancurkan sang hamba.



Dalam masalah wanita berhias, maka batasan yang Allah tetapkan adalah:
Kepada suami : Istri wajib tampil cantik dan semenarik mungkin di depan suami. Dan semua itu akan melahirkan pahala yang besar dari Allah.
Kepada laki-laki yang mahram dan sesama wanita muslimah : Seorang wanita boleh menampakkan sebagian tubuhnhya seperti kepala, leher, tangan, kaki dan bagian lain yang memang dibolehkan secara syar'I di depan kelaurganya yang masih mahram. Namun tidak boleh menampakkan bagian seperti aurat besar dan lainnya. Bedandan di depan mereka pun tidak menjadi masalah asal masih dalam batas yang wajar dan tidak vulgar.
Kepada laki-laki non mahram dan wanita kafir : Keduanya punya kedudukan yang sama yaitu diharamkan menampakkan bagian tubuh dan berhias di depan mereka. Apalagi melenggak-lenggokkan tubuh untuk menarik syahwat laki-laki asing/non mahram.

Islam menentang sikap berlebih-lebihan dalam berhias sampai kepada suatu batas yang menjurus kepada suatu sikap mengubah ciptaan Allah yang oleh al-Quran dinilai, bahwa mengubah ciptaan Allah itu sebagai salah satu ajakan syaitan kepada pengikut-pengikutnya, dimana syaitan akan berkata kepada pengikutnya itu sebagai berikut:"Sungguh akan kami pengaruhi mereka itu, sehingga mereka mau mengubah ciptaan Allah." (an-Nisa': 119)



Batasan Tabarruj/Berhias:

Yang mengeluarkan seorang perempuan muslimah dari batas tabarruj yang selanjutnya disebut kesopanan Islam, yaitu hendaknya dia dapat menepati hal-hal sebagai berikut: A) Ghadh-dhul Bashar (menundukkan pandangan), sebab perhiasan perempuan yang termahal ialah malu, sedang bentuk malu yang lebih tegas ialah: menundukkan pandangan, seperti yang difirmankan Allah: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya."

B) Tidak bergaul bebas sehingga terjadi persentuhan antara laki-laki dengan perempuan, seperti yang biasa terjadi di gedung-gedung bioskop, ruangan-ruangan kuliah, perguruan-perguruan tinggi, kendaraan-kendaraan umum dan sebagainya di zaman kita sekarang ini.

Sebab Ma'qil bin Yasar meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. Pernah bersabda sebagai berikut: "Sungguh kepala salah seorang di antara kamu ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya." (Riwayat Thabarani, Baihaqi, dan rawi-rawinya Thabarani adalah kepercayaan)

C) Pakaiannya harus selaras dengan tata kesopanan Islam. Sedang pakaian menurut tata kesopanan Islam, yaitu terdapatnya sifat-sifat sebagai berikut:
Harus menutup semua badan, selain yang memang telah dikecualikan oleh al-Quran dalam firmannya: "Apa-apa yang biasa tampak" yang menurut pendapat yang lebih kuat, yaitu muka dan dua tapak tangan.
Tidak tipis dan tidak membentuk badan sehingga tampak kulit. Sebab sesuai apa yang dikatakan Nabi: "Sesungguhnya termasuk ahli neraka, yaitu perempuan-perempuan berpakaian tetapi telanjang, yang condong kepada maksiat dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat. Mereka ini tidak akan masuk sorga dan tidak akan mencium baunya." (Riwayat Muslim) Maksud berpakaian tetapi telanjang, yaitu: pakaian mereka itu tidak berfungsi menutup aurat, sehingga dapat mensifati kulit yang di bawahnya justru karena tipis dan sempitnya pakaian itu. Beberapa orang perempuan dari Bani Tamim masuk rumah Aisyah, dengan berpakaian yang sangat tipis, kemudian Aisyah berkata: "Kalau kamu sebagai orang mu'min, maka bukan ini macamnya pakaian orang-orang perempuan mu'min itu." (Riwayat Thabarani dan lain-lain). Ada pula seorang perempuan yang baru saja menjadi pengantin, dia memakai kudung yang sangat tipis sekali, maka kata Aisyah kepadanya: "Perempuan yang memakai kudung seperti ini berarti tidak beriman dengan surah an-Nur."
Tidak memperhatikan batas-batas anggota tubuh dan menampakkan bagian-bagian yang cukup menimbulkan fitnah, sekalipun tipis, seperti pakaian yang dianggap mode kebudayaan tubuh dan syahwat (atau dengan kata lain pakaian kebudayaan barat) yang oleh ahli mode dijadikan perlombaan dalam memotong pakaian yang membentuk tetek yang bulat, pinggang, punggung dan sebagainya. Suatu mode yang cukup dapat membangkitkan syahwat. Sedang yang memakainya itu sendiri seperti berpakaian tetapi telanjang. Ini cukup lebih menarik dan menimbulkan fitnah, daripada pakaian yang sekedar tipis.
Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh orang laki-laki seperti celana di zaman kita sekarang ini. Sebab Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam Pernah melaknat perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai perempuan. Begitu juga Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam Pernah melarang perempuan memakai pakaian laki-laki dan laki-laki memakai pakaian perempuan.
Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh orang-orang kafir seperti Yahudi, Kristen dan penyembah-penyembah berhala. Sebab menyamai mereka itu dilarang dalam Islam, supaya ummatnya ini baik yang laki-laki ataupun perempuan mempunyai ciri-ciri tersendiri baik dalam hal-hal yang tampak maupun yang tersembunyi. Justru itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Memerintahkan supaya ummat Islam berbeda dengan orang kafir dalam beberapa hal. Sabda beliau:"Barangsiapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka."(Riwayat Thabarani)
Khusyu' dan bersahaja, baik dalam cara berjalannya maupun berbicaranya; dan supaya menjauhkan gerak-gerak yang tidak baik pada tubuh maupun wajahnya.Sebab gerakan-gerakan yang dibuat-buat adalah termasuk perbuatan perempuan-perempuan lacur, bukan budi perempuan muslimah. Oleh karena itu Allah berfirman: "Janganlah perempuan-perempuan melembikkan perkataannya, sebab orang-orang yang hatinya ada penyakit akan menaruh perhatian." (al-Ahzab: 32)
Tidak bermaksud untuk menarik perhatian orang laki-laki supaya mereka mengetahui apa yang disembunyikan baik dengan bau-bauan ataupun dengan bunyi-bunyian. Untuk itu Allah berfirman: "Janganlah perempuan-perempuan itu memukul-mukulkan kakinya di tanah supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan mereka." (an-Nur: 31) Perempuan-perempuan jahiliah dahulu kalau berjalan di hadapan laki-laki, mereka pukul-pukulkan kakinya supaya terdengar suara gelang kakinya. Untuk itu maka al-Quran melarangnya, karena hal tersebut dapat membangkitkan khayal laki-laki yang bergelora syahwatnya, dan cukup menunjukkan niat jahatnya perempuan-perempuan supaya diperhatikan oleh laki-laki. Yang sama dalam hal ini ialah perempuan yang suka memakai aneka macam wangi-wangian yang cukup dapat membangkitkan syahwat dan menarik perhatian laki-laki. Maka bersabdalah Nabi: "Perempuan apabila memakai wangi-wangian, kemudian berjalan melalui suatu majlis (laki-laki), maka berarti dia itu begini -yakni: perempuan lacur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan ia berkata: hasan sahih.

Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim) Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita ketahui, bahwa Islam tidak mengharuskan seorang perempuan muslimah –seperti yang biasa dituduhkan— selamanya dipenjara dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali ke kubur (sampai mati).

Tetapi Islam membolehkan seorang perempuan muslimah keluar rumah untuk pergi shalat, mencari ilmu, melaksanakan keperluannya dan setiap tujuan agama atau duniawi yang dibenarkan, seperti yang biasa dilakukan oleh isteri-isteri sahabat dan berikutnya, padahal mereka itu sebaik-baik kurun (abad). Di antara mereka ada yang keluar ikut dalam peperangan bersama Rasulullah, dengan para khulafa' dan panglima-panglima perang lainnya. Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sendiri pernah berkata kepada salah seorang isterinya, yaitu Saudah sebagai berikut: "Sungguh Allah telah mengizinkan kamu keluar rumah untuk urusan-urusanmu." (Riwayat Bukhari)



Dan sabdanya pula,"Apabila salah seorang isterimu minta izin untuk pergi ke masjid, maka jangan halang-halangi dia." (Riwayat Bukhari).

Dan dalam hadisnya yang lain pula, ia bersabda: "Jangan kamu halang-halangi hamba Allah yang perempuan itu untuk pergi ke masjid-masjid Allah." (Riwayat Muslim).

Sebagian ulama yang menganggap, bahwa perempuan sama sekali tidak boleh melihat anggota laki-laki yang manapun. Mereka membawakan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya.

Nabi bersabda: "pakailah tabir". Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"

Tetapi dari kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadis/pendapat) mengatakan: hadis ini tidak sah menurut ahli-ahli hadis, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima. Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah suatu sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.



Seperti apa yang diisyaratkan oleh Abu Daud dan lain-lain: Dengan demikian tinggal satu hadis sahih yang berbunyi sebagai berikut: "Rasulullah s.a.w. Pernah menyuruh Fatimah binti Qais supaya menghabiskan iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian menyusuli perkataan: Dia (Ummu Syarik) adalah seorang perempuan yang disibukkan oleh urusan sahabat-sahabatku, justru itu beriddah sajalah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia itu seorang laki-laki buta, kamu lepas pakaianmu tetapi dia tidak melihatmu." (Tafsir Qurthubi, juz 1-2: 228)



Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya Dan lebih tegas lagi, bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu.

Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut: "Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)



Dari hadis ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..." Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan perempuan-perempuan yang diundang oleh isterinya itu. Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi haram.



tambahan

telapak kaki itu aurat karena yang dibolehkan muka dan telapak tangan. sesuai dengan hadits yang shahih.

baca buku jilbab wanita muslimah menurut qur'an dan sunnah disitu banyak dalil dikupasnya juga jelas karangan syeikh muhammad nashiruddin al albani. (ini salah satunya) dan karangan yang lain juga banyak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar