Rabu, 26 Oktober 2011

Fikih Ekonomi Islam: Urgensi Mengenal Konsep Syariat Islam dalam Pengelolaan Harta



Di antara bidang keilmuan yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam adalah perniagaan, pengelolaan harta dan pertukarannya. Hal ini nampak dari perhatian para ulama sepanjang masa tentang masalah ini. Hal ini tentunya mendorong kita untuk memotivasi diri membaca dan menerapkan hukum-hukumnya dalam kehidupan kita.


Urgensi Mengenal Konsep Syariat Islam dalam Pengelolaan Harta (al-Muamalat al-Maliyah).

Setiap orang harus dan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan dan cara yang ada. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain, sehinga diperlukan satu cara yang mengatur mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, salah satunya adalah pengelolaan harta, baik dengan jual beli atau yang lainnya. Oleh karena itu, Allah karuniakan hamba-hamba-Nya kemampuan dan naluri untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan dan menuntun hamba-Nya tersebut dengan aturan dan arahan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.

Di zaman sekarang masalah pengelolaan harta khususnya jual beli dan bentuk-bentuknya berkembang pesat dan cukup pelik untuk dimengerti dari yang tradisional, konvensional sampai yang multilevel. Hal ini menuntut setiap muslim untuk mengerti hukum syariat tentang hal itu, ditambah dewasa ini kaum muslimin sangat meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka. Padahal, kehalalan satu usaha mencari nafkah merupakan masalah besar dan penting dalam pandangan para salaf shalih. Mereka telah memberikan perhatian sangat besar dan serius dalam hal ini, sebab ini sangat mempengaruhi makanan dan minuman yang dimakan seseorang. Cukuplah bagi kita hadits nabi yang berbunyi,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ


“Sesungguhnya Allah Ta'ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,'Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (Qs. al-Mu'minun: 51).

Dan Ia berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.' (Qs. al-Baqarah: 172). Kemudian, beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo'a, 'Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam az-Zakah no. 1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsirul Qur'an, no. 2989).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima.” (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 1/260 dinukil dari Bai' al-Taqsith Ahkamuhu wa Adabuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa'id Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419 H., Dar al-Wathan, KSA, hal. 10).

Demikian juga Prof. Dr. Abdurrazaaq bin Abdulmuhsin al-'Abad menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Rasulullah memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya doa. Terpahami darinya, bahwa memperbagus makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa, sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih, 'Siapa yang ingin dikabulkan Allah doanya, maka hendaklah memperbagus makanannya.' dan ketika Sa'd bin Abi Waqqash ditanya mengenai sebab dikabulkan doanya di antara para sahabat Rasulullah, beliau berkata, 'Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar.'”

Perhatikan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Sesungguhnya, tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” (Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab al-Shalat Bab Fadhlu Shalat, no. 614 dari Ka'b bin 'Ujrah pada sebagian dari hadits panjang. Abu 'Isa al-Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan gharib dan dishahihkan oleh Ahmad Muhamamd Syakir dalam komentar beliau terhadap Sunan al-Tirmidzi, hal. 2/515 dan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 501).

Jika kita heran dan bertanya-tanya, “Mengapa bencana menimpa kita, kemakmuran sulit dicapai, ketenangan hidup dan kemenangan tak juga diraih? Mengapa doa-doa kita tidak terkabulkan?”

Kemungkinan jawabannya adalah kelalaian kita dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang baik dan ketidakpedulian kita tentang masalah halal dan haramnya. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah dalam hadits di atas dan juga para ulama, di antranya Yusuf bin Asbath yang berkata, “Telah sampai kepada kami, bahwa doa seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal).” (Jami'ul 'Ulum wa al-Hikam, 1/275. Dinukil dari Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11). Wajar saja bila Khalifah 'Umar bin al-Khaththab -meski masih banyak sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memukul orang dengan dirrah, lalu berkata, “Janganlah berdagang di pasar kami, kecuali orang faqih, [mengerti tentang jual beli], jika tidak, maka dia makan riba.”(Dinukil dari kitab Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11). Demikian juga Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Siapa yang berdagang sebelum mengerti fiqih, maka ia akan tercebur ke dalam riba, kemudian tercebur lagi dan kemudian akan tercebur lagi.” artinya terjerumus ke dalamnya dan kebingungan.”(Dinukil dari kitab Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11).

Ini di zaman Umar dan Ali yang masih banyak para ulama. Bagaimana di zaman sekarang yang sudah beraneka ragam corak dan bentuk perdagangan dan sedikitnya para ulama?!!!

Tidak diragukan lagi, bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalat yang dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal, serta yang syubhat (tidak jelas).

Oleh karenanya, mengenal konsep Islam dalam pertukaran harta, baik dengan jual beli atau yang lainnya, termasuk hal yang sangat urgen (penting) yang wajib diperhatikan, khususnya dewasa ini di mana kaum muslimin mulai mau kembali merujuk agamanya. Sehingga, sudah menjadi tugas kita untuk memberikan pencerahan kepada umat ini seputar hukum jual beli, agar mereka dapat memperoleh makanan dan minuman yang halal. Kemudian, mudah-mudahan dengan itu akan membantu mencapai kejayaan umat ini. Demikian juga, mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat kita agar memiliki sandaran syariat dalam setiap transaksi mereka.

Hal ini semakin tampak urgensinya bila melihat sebagian besar transaksi perdagangan mereka dewasa ini terpengaruh (suasana) pasar yang ada, yang dalam banyak bentuknya tidak berdiri diatas syariat dan aturan Allah. Ditambah ketidaktahuan kaum muslimin terhadap ajaran Islam seputar permasalahan ini.


Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel www.PengusahaMuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar