Ini merupakan hak yang sangat agung. Bahkan tidaklah bisa dipahami makna dan nilai persaudaraan secara khusus kecuali dengan menjaga kehormatan saudaranya.Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, yang pada diri mereka terjalin tali persaudaraan yang umum (tidak khusus, yaitu persaudaraan seorang muslim dengan muslim yang lainnya), untuk menjaga kehormatan-kehormatan kaum muslimin. Pada hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya, bahwa ketika khuthbah hari ‘Arafah pada saat haji wada’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ ....
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan dan harga diri kalian haram atas kalian….”[1]
Karena itu, kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum adalah haram untuk dinodai oleh muslim yang lain. Bagaimana lagi jika di antara muslim yang satu dengan yang lainnya terjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus? Bagaimana mungkin ia tidak menjaga kehormatan saudaranya itu? Padahal telah terjalin antara mereka tali persaudaraan khusus yang tidak terjalin untuk selain mereka. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan saudaranya yang jauh darinya, padahal diantara mereka tidak ada ikatan atau kecintaan yang khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama saudaranya yang diantara mereka terdapat hubungan dan rasa cinta, ada saling-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!
Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memiliki tali ukhuwwah yang khusus maupun yang umum):
1. Hendaknya engkau menahan diri untuk tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan engkau mengetahui perkara-perkara pribadi yang timbul dari sahabatmu. Misalnya dia mengucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan (yang kurang baik atau bersifat rahasia tatkala sedang bersamamu). Makna dari ukhuwwah yang khusus adalah engkau amanah terhadap apa-apa yang kau lihat dan kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian, maka setiap orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya. Tidak ada yang namanya sahabat karib, sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya, baik dihadapannya maupun dibelakangnya. Ada seseorang yang tatkala melihat bahwa pada zamannya tidak didapatkan seorang sahabat sejati dan kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya serta menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang dia beri judul:
تَفْضِيْلُ الْكِلاَبِ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ لَبِسَ الثِّيَابِ
Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian.[2]
Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor anjing, jika pemiliknya berbuat baik kepadanya maka ia akan menunaikan tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan nyawanya demi membela pemiliknya yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis tadi berkata, ”Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,” disebabkan banyaknya orang yang berkhianat. Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi saudaranya, namun tidak lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan menyebutkan aib-aib saudaranya yang terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui bahwa ia akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai musuh, tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan janji. Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya adalah harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan yang khusus.
2. Engkau tidak bertanya secara detail kepada saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut campur pada permasalahan-permasalahan yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya engkau melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang ke tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke Fulan? Ada apa antara engkau dengan Fulan?," dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merupakan bentuk turut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ingin agar engkau turut campur dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya kepadamu. Jika dia menyembunyikan hal itu, maka tentu karena ada maslahatnya. Disamping itu, merupakan kebaikan nilai keislaman seseorang jika ia meninggalkan apa yang bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”[3].
Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu tempat, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau bertanya tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahumu tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia pribadi sekaligus privasi.
3. Engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai orang tersebut. Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat tentang permasalahan tersebut, maka ia kabarkan kepadamu karena engkau adalah orang khusus, karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru. Jika engkau adalah sahabat sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu melainkan untuk dijaga, bukan disebarkan (meskipun dia tidak memintamu untuk merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus adalah adanya rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya:
الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَةٌ
“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut[4] maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari)”[5].
Hal ini merupakan amanah, dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta menjaga kehormatan. Sebab, jika engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada orang-orang, “Fulan talah berpendapat seperti ini; Fulan telah berkata tentang si Fulan begini dan begitu." Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaraan jika engkau menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!
Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang kepada saudaranya, yang diantara mereka terjalin tali persaudaraan yang khusus, lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakan apa yang akan dia ceritakan. Dia berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu jangan kau beritahu siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada orang ketiga, sambil berkata: “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau beritahukan kepada siapapun.” Akhirnya kabar tersebut pun tersebar di masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh penyair,
وَكُلُّ سِرِّ جَاوَزَ الإِثْنَيْنِ فَإِنَّهُ بِنَفْسٍ وَتَكْسِيْرِ الْحَدِيْثِ قَمِيْنُ
Setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati dan tidak usah diceritakan[6]
Ini merupakan realita. Jika seseorang memilih orang lain untuk menjadi sahabat atau saudaranya, lalu ia menceritakan rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak diceritakan kepada orang ketiga). Terlebih lagi jika dia memang meminta hal itu. Jika dia tidak memintanya, maka keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَة
“Seseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”
Bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya untuk menceritakannya kepada orang lain?![7].
Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari menyebutkan aib yang dilihatnya pada saudaranya, keluarga saudaranya, karib kerabatnya, atau pada aib yang dia dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon saudaranya –dan saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia mendengar dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia berkata kepada orang-orang, “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau ia melihatnya dalam keadaan yang tidak baik, kemudian ia kabarkan aib-aib tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga kehormatan saudara sesama muslim. Bahkan ini termasuk menodai kehormatan saudara.
Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang jelek tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia mengucapkan perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya hukumnya wajib. Bukan justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya. Sebaliknya, engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. "Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya".
Mengenai pembahasan nasehat antar saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخِوَانًا
“Janganlah kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan, dan jangan saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai hamba-hamba Allah.”[8]
Hadits ini mengandung dua kalimat. Yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits yang disepakati keshahihannya ini:
لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Janganlah kalian saling ber-tahassus dan jangan saling ber-tajassus.”
Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama –ada khilaf dalam masalah ini[9]-, tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indra penglihatan, sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman Allah:
يا بنيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ وَلاَتَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ
“Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Firman Allah:
فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ
"carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya", diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari berita.
Adapun tajassus, maka Allah melarangnya dalam firman-Nya:
وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing sebahagian yang lain” (Yusuf: 87)
Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan melihat saudaramu, lalu engkau mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya berjalan di suatu jalan, kemudian engkau mengikutinya hingga engkau tahu aibnya. Janganlah kau lakukan hal ini. Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya.
Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau bertanya-tanya tentang aib saudaramu, padahal ia termasuk saudara-saudaramu seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin antara engkau dengan mereka tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan. Janganlah engkau ber-tahassus dan janganlah engkau ber-tajassus terhadapnya. Seorang muslim dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin secara umum, bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus.
“Janganlah bertahassus,” yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari kesalahannya), dan “janganlah bertajassus,” yaitu janganlah engkau mengamati apa yang dilakukannya, karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk perkara yang diharamkan oleh Allah.
bersambung ....
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Catatan kaki:
[1] HR al-Bukhari (1742) dan (6043)
[2] Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Khalaf bin al-Marzaban. Beliau meninggal tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat (III/37).
Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrahim Yusuf, diterbitkan oleh Daarul Kutub al-Mishriyah, terdiri dari 39 halaman. Penulis berkata di awal risalahnya:
"Aku menyebutkan (kepadamu) –semoga Allah memuliakanmu- tentang zaman kita dan rusaknya hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlak mereka rusak dan tabiat mereka tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari sahabat yang baik. Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk tidak menceritakan aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang sedang tersesat di sebuah jalan yang membingungkan, semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia semakin jauh dari tujuan. Kenyataannya sebagaimana yang aku paparkan. Diriwayatkan dari Abu Dzarr al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.” Sebagian mereka berkata, “Dahulu kami khawatir para sahabat kami ditimpa kebanyakan janji dan terlalu sering minta maaf (karena menyelisihi janji). Kami khawatir mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan mencampurkan permintaan maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang beralasan dengan kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah meninggal… (maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka cuek dan tidak minta maaf)." Fadhlul Kilab, hal 5-6.
Beliau juga berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memuliakanmu- bahwa anjing lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apa-apa yang dimiliki oleh tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si anjing tetap menjalankan tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia tidak akan merendahkan tuannya meskipun tuannya merendahkannya. Diriwayatkan kepada kami bahwa ada seseorang berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing membuat anjing itu lapar dan memukulnya, namun ia tetap menjalankan tugasnya.” 'Umar pernah melihat seorang arab badui yang membawa seekor anjing. Maka 'Umar pun berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui menjawab, “Wahai Amirul mukminin, sebaik-baik sahabat adalah yang jika engkau memberinya maka ia berterimakasih, dan jika engkau tidak memberinya maka ia bersabar.” Maka 'Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah sahabatmu.” Ibnu 'Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang berterimakasih kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” Fadhlul Kilab, hal 12.
[3] HR At-Tirmidzi (2317) dan Ibnu Majah (3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[4] Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara, "Rahasiakanlah kabar ini!" Pandapat yang kedua, makna berpaling adalah, setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua.
Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)
[5] HR At-Tirmidzi (1959) dan Abu Dawud (4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (1090).
[6] Maksudnya, jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan rahasia lagi. Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga, biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga pun akan membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama menjadi rahasia umum.
[7] Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaitan akan datang menggelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak:
قٌلٌوْبُ الأَحْرَارِ قُبُوْرُ الأَسْرَارِ
“Hati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi rahasia-rahasia.”
Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai selesai mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”
Sahabatnya menjawab, “Tidak, bahkan saya telah melupakannya.”
Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam hatinya.
Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya bersahabat, maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi menjatuhkannya. Dikatakan dalam syair,
ليس الكريم الذي إن زلّ صاحبُه بثّ الذي كان مِنْ أسراره عَلِمَا
إن الكريم الذي تبقى مودته ويحفظ السِّرَّ إن صافى وإن صَرمَا
Bukanlah orang yang mulia yang jika bersalah sahabatnya,
diapun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui.
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 33.
[8] HR Al-Bukhari no 6064, 6066
[9] Lihat Fat-hul Baari (X/592) dan Tafsir Ibn Katsir, Surat al-Hujuraat: 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar