(Fikih: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X)
Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal (di luar tanah haram), seperti Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala.
Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh dengan penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa’i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh ‘Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]
SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allâh, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Di samping itu, juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.
Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari’at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allâh Ta'ala.
Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida‘ (melampaui batas) terhadap hak Allâh Ta'ala, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allâh Ta'ala dalam hukum-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman :
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."(QS asy Syura /42: 21)[2]
JUMLAH UMRAH RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji’ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau”. [3]
Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat.[4] Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha‘[5] pada tahun 7 H. Selama tiga hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah.[6]
SEBELAS ALASAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dalam Fatawanya. Pendapat beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaiminrahimahullâh dalam Syarhul Mumti’.[7]
Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas– tidak disyariatkan.
Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh menyimpulkan, setiap umrah mempunyai safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja.[8] Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.
Kedua. Tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari para sahabat yang menyertai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam haji Wada’ yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Mereka juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah.
Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.[9]
Ketiga. Umrah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di sana.
Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah.
Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]
Keempat. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam.
Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan) sejak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu. Hal ini mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah.
Tidak mungkin Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya kurang) dibandingkan amalan yang lebihafdhal (nilainya lebih utama) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan umrah berulang-ulang saat berada di Mekkah.[11]
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata,
”Tidak ada umrah yang beliau lakukan dengan cara keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah. Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali ‘Aisyah semata…"[12]
Kelima. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliau mengizinkannya setelah ‘Aisyah memohon dengan sangat.[13]
Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Aisyah radhiyallâhu'anha mendapatkan haidh. Karena ‘Aisyah radhiyallâhu'anhamenyangka, bahwa umrah yang ia lakukan bersamaan dengan haji (haji qiran) batal, ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengijinkan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha melakukan umrah lagi dan memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah radhiyallâhu'anha ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah di sana.
Umrah yang dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anhaini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan ‘Aisyahradhiyallâhu'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu'anhatersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.
Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan, (Umrah ‘Aisyah radhiyallâhu'anha) dijadikan dasar tentang umrah dari Mekkah. Dan tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) masyru’ (disyari'atkan) selain riwayat tersebut. Sesungguhnya NabiShallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]
Imam asy-Syaukani rahimahullâh berkata,
”Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Dan tidak ada riwayat, yang menerangkan sahabat Nabi melakukan yang demikian itu”.[15]
Keenam. Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah.
Imam Ahmad rahimahullâh pernah menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
“Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.
‘Atha bin Abi Rabah rahimahullâh[16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata :
“Tidak ada manusia ciptaan Allâh kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.
Thawus rahimahullâh[17] berkata:
“Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja (Kisah ini sudah dijelaskan di atas).
Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]
Ketujuh. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan).[19]
Kedelapan. Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.
Kesembilan. Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah.
Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al-Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama.[20]
Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. Sa’id bin Manshurrahimahullâh meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus rahimahullâh, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan :
“Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa”. Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang dari menempuh jarak empat mil tersebut, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]
‘Atha` pernah berkata :
“Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”.[22]
Kesepuluh. Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam.
Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum. [23]
Di antara dalil yang umum, hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya.[24]
Tentang hadits ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullâh mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim.[25]
Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.
Kesebelas. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]
LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menambahkan :
“Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.
Alasannya, kata beliau rahimahullâh, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah danqurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allâh) yang paling afdhal yang telah Allâh tetapkan di dalam Kitab-Nya, berdasarkan keterangan Nabi-Nya.
Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnya. Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, NabiShallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang. [27]
Allâh Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Ismail 'alaihissalam dengan berfirman :
Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud. (QS al Baqarah/2:125)
Dalam ayat yang lain:
Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang ruku’ dan sujud. (QS al Hajj/22:26)
Pada dua ayat di atas, Allâh Ta'ala menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka’bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallambersabda:
Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat penyuci bagi diriku. (HR. al Bukhari-Muslim)
Maksudnya, Allâh Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu.
Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat yang tempat pelaksanaannya lebih umum. Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28] Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian.[29]
Kesimpulannya, memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]
Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulangkali saat berada di Mekah, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat radhiyallâhu'anhum. Dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Yaitu dalam sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu."(Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.)’. 31
Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallâhu a’lam bish-shawab.
Maraji :
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul ‘Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
catatan kaki:
- Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668.
- Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al-Khumayyis dalam adz-Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
- Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
- Zadul Ma’ad, 2/89.
- Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha‘ atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk meng-qadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali saja. Demikian penjelasan as-Suhaili rahimahullâh. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâhdalam Zadul Ma’ad, 2/86.
- Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
- Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy -Syarhul Mumti’, 7/407.
- Fatawa al-‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
- Majmu’ al Fatawa, 26/252.
- Majmu’ al Fatawa, 26/254.
- Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
- Zaadul Ma’ad, 2/89.
- Majmu’ al Fatawa, 26/252.
- Zaadul Ma’ad, 2/163.
- Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
- Atha bin Abi Rabah Aslam al Qurasyi al Fihri rahimahullâh, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Di antara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash dan Abdullah bin Zubair radhiyallâhu'anhum. Seorang mufti Mekah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114 H.
- Thawus bin Kaisan al Yamani rahimahullâh, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in. berguru kepada sejumlah sahabat. misalnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Muad bin Jabal radhiyallâhu'anhum. Seorang ahli fiqh di zamannya. Wafat tahun 106 H.
- Majmu’ al Fatawa, 26/256-258.
- Ibid, 26/262.
- Ibid, 2/264.
- Ibid, 26/264.
- Ibid, 26/266.
- Ibid, 26/270.
- HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
- Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
- Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
- Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254.
- Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
- Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
- Majmu’ al Fatawa, 26/290.
- Al Wajiz, halaman 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar