Bismillahir-rahmanir-rahim(i)
Segala puji bagi Allah, kepadanya kita memuji, memohon pertolongan dan ampunan. KepadaNya pula kita memohon perlindungan agar dijaga dari keburukan jiwa dan perbuatan. Orang yang memperoleh hidayah Allah tidak akan sesat dan orang yang disesatkan Allah tidak ada orang yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusan Allah ‘Azza wa Jalla.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan aqidah Islam yang murni sesuai dengan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahamanan Sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama'ah beriman, beraqidah dan berda'wah.
Ahlus sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya serta beriman kepada hari akhir dan taqdir yang baik dan yang buruk.
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal keyakinan, amalan maupun ucapan.
Ahlusunnah harus Ikhlas dalam beribadah, Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik.
Setelah diketahui pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa orang dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan segala jenis syirik.
Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang harus diyakini?
Tauhid yang pertama: Tauhid Rububiyyah, maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta, yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid yang kedua: Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid yang ketiga: Tauhid Asma’ wa Sifat, maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Kita harus meyakini seluruh Nama dan Sifat Allah yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa adanya.
Setelah meyakini ketiga jenis tauhid ini, maka wajib meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi orang-orang yang bertauhid.
Syirik yang pertama disebut syirik Akbar, yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Syirik jenis ini amat banyak jumlah dan macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada yang mencipta dan yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta rejeki atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin, menolak sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan masih banyak bentuk lainnya.
Syirik yang kedua disebut Syirik Asyghar, yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan pelakunya dikeluarkan dari Islam. Namun dosanya lebih besar daripada dosa zina, dosa mencuri atau kemaksiatan lainnya. Di antara amalan yang termasuk jenis syirik ini adalah riya’ (ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama selain Allah, memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya bersumber dari Allah. Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa sumber kekuatan itu dari jimatnya, maka sudah termasuk Syirik Akbar. Dan masih banyak lagi macamnya.
Siapa saja yang telah meyakini tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik ini, maka dia telah ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka terus berdakwah menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki dasar Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan cara ikhlas dalam melaksanakan agama-Nya dan Hanif (meninggalkan segala jenis syirik) ...”
Ahlusunnah selalu berperinsip di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.
Banyak aktivis Islam yang saat ini menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan partai sebagai alat pemersatu, ada juga yang menggunakan suku bangsa bahkan ada juga yang menyatukan umat dengan slogan “yang penting muslim”, walaupun keyakinan dan prinsip hidupnya berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan di kalangan mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan antara mereka.
Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu? Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.
Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, ………..,”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)
Bila ada yang berkomentar, “Banyak kelompok yang mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun kenapa terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah, “Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan kemampuan akal yang disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya”.
Lalu bagaimana seharusnya? Dalam memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada pemahaman dan penjelasan dari Salaful Ummah/Salaful Shalih. Siapa sebenarnya Salaful Ummah/Salaful Shalih itu? Mereka adalah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang betul-betul paham maksud Al Quran dan Assunnah karena merekalah yang langsung mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengapa harus sesuai dengan pemahaman mereka, bukankah mereka juga manusia seperti kita? Karena mereka dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah Ta’ala. Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Itulah kemenangan yang besar”.
Di samping itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti pemahaman para shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no: 4607). Inilah prinsip persatuan umat yang harus dijadikan sebagai pegangan.
Barang siapa yang menggunakan cara lain untuk menyatukan umat maka ia akan menuai kegagalan atau mungkin berhasil tetapi bersatu diatas kebatilan. Wallahu A’lam.
Ahlusunah melarangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati Penguasa Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar)
Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada juga yang memanfaatkan keadaan untuk merebut pangkat dan jabatan dengan cara membela sang penguasa habis-habisan bahkan membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun menyimpang jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan Assunnah menurut pemahaman salaful ummah / Salaful shalih dalam menyikapi sang penguasa ?
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demkian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” .
Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak menggulingkan kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya)
Dari keterangan Al Quran dan Assunnah inilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat) dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan apapun kecuali memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah setelah membawakan hadits di atas. Apa dua syarat tersebut?
Syarat pertama: Adanya kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran tersebut.
Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar. Tanpa kedua syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)
Wahai kaum muslimin, kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul musta’an.
Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i kita semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti, apa yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat, puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan dan perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Setelah kita mengerti makna ibadah, kita wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar kita bisa menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini timbul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui secara rinci macam-macam ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala? Mampukah akal kita menyimpulkan sendiri perincian tugas ibadah itu?
Untuk mengetahui secara rinci ibadah yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan akal kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala yang menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu bernama Al Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhu. Singkat kata, wajib bagi kita mempelajari Al Quran dan Assunnah agar kita bisa menunaikan tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i”
Oleh sebab itu, siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”
Dalam hadits shahih juga ditegaskan: “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.” Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai kemuliaan. Wallahul musta’an.
Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib.
Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita:“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kita, nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan, untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor: 2546)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang murni.
Ahlus Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari segala bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253) Wallahul musta’an.
Rujukan:
1.Syarh Al-Ushul As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.
2. Tanbih Dzamil Uqul As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri
3. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di.
4. Syarah 3 landasan Utama Abdullah bin Shalih Al Fauzan
5. Wasiat perpisahan Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Semoga dapat mengambil khimahnya. Kesalahan dari hamba yang lemah ini, dan kebenaran datangnya dari Allah ‘Azza wa Jalla.
(Ina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar