Selasa, 01 November 2011

Bahaya Menggunjing - Ghibah dilakukan dalam hati ??!!



Ghibah dilakukan dalam hati ??!!




Berkata Al-Ghozaali –dalam sub judul “penjelasan pengharaman ghibah dengan hati”-,

((Ketahuilah bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram sebagaimana perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada orang lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu maka demikian juga tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu (tentang kejelekan-kejelekan saudaramu) dan engkau berprasangka buruk terhadap saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini melainkan adalah menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan kejelekan.Adapun hanya sekedar lintasan pikiran maka dimaafkan oleh Allah. Bahkan keraguan juga dimaafkan oleh Allah akan tetapi yang dilarang adalah (jika sampai pada tingkat) prasangka. Dan prasangka merupakan sesuatu keadaan dimana hati telah condong dan cenderung meyakininya.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (الحجرات : 12 )

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (QS. 49:12)

Dan sebab pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah diketahui kecuali oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal ghoib. Maka tidak boleh engkau meyakini kejelekan pada diri orang lain kecuali jika engkau mengungkapnya dengan melihat dengan dua matamu sehingga tidak bisa ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak mungkin bagimu untuk meyakini kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihat. Adapun apa yang tidak engkau lihat dengan mata kepalamu dan tidak engkau dengar langsung dengan telingamu kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan saudaramu) maka ini berasal dari syaitan yang telah melemparkan prasangka tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau mendustakan syaitan karena dia adalah makhluk yang paling fasiq.

Allah telah beriman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ (الحجرات : 6 )

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (QS. 49:6)

Maka tidak boleh bagimu untuk membenarkan iblis. Jika disana ada indikasi yang menunjukan akan keburukan (saudaramu) namun masih ada kemungkinan selain itu maka tidak boleh bagimu untuk membenarkannya karena orang fasik meskipun memang bisa jujur dalam menyampaikan berita akan tetapi tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Bahkan barangsiapa yang mencium bau mulut orang lain kemudian ia mendapatkan bau khomr (bir) maka tidak boleh baginya kecuali hanya berkata, “Mungkin orang ini hanya sekedar berkumur-kumur dengan khomr kemudian ia membuangnya dan tidak meminumnya”, atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum khomr”, dan hal ini menunjukan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung kemungkinan-kemungkinan maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berprasangka buruk kepadanya…. Maka tidak dibolehkan prasangka buruk kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya dihalalkan harta[1], yaitu dengan melihatnya secara langsung atau adanya persaksian dari orang-orang yang adil. Jika ia tidak memiliki perkara-perkara tersebut kemudian terlintas dalam benakmu was-was prasangka buruk maka hendaknya engkau menolaknya dari dirimu dan engkau menekankan pada hatimu bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup (tidak engkau ketahui) sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau lihat pada dirinya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.

Jika engkau berkata, “Bagaimana diketahui perbedaan antara prasangka buruk dengan hanya sekedar ragu atau sekedar lintasan pikiran…??”. Kita katakan bahwasanya tanda adanya prasangka buruk yaitu berubahnya hatimu terhadap orang yang engkau prasangka buruk tersebut. Hatimu lari darinya dan merasa berat, dan malas untuk memperhatikannya atau mengecek keadaannya, memuliakannya, sedih dengannya. Ini merupakan tanda-tanda bahwa hatimu telah sampai pada tahap prasangka buruk.))[2]

Namun bagaimanapun juga penjelasan Al-Ghozali ini masih perlu diteliti kembali sebab sebagaimana yang telah lalu penjelasannya bahwasanya definisi ghibah adalah mencakup pengungkapan kejelekan saudara (baik dengan lisan ataupun dengan isyarat apapun yang bisa dipahami maksudnya) dihadapan orang lain tanpa sepengatahuan atau tanpa kehadiran saudaranya tersebut. Dan pernyataan bahwa prasangka buruk termasuk ghibah perlu ditinjau kembali, mengingat penulis belum menemukan perkataan ulama selain Al-Ghozaali yang memasukkan prasangka buruk dalam ghibah. Tentunya dosa ghibah tidak sama dengan dosa prasangka buruk. Wallahu A’lam bisshowaab


Model-model para pengghibah

Ibnu Taimiyah berkata -tatkala menjelaskan model-model para pengghibah-,

  1. Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya, atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu. Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria
  2. Diantara mereka (para tukang ghibah) ada yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia berkata, “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita dan dia”, namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya[3].
  3. Diantara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya’ dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya”, padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
  4. Diantara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
  5. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
  6. Diantaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian dan demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.
  7. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..”. Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya). Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.
  8. Diantara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan[4]
Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?

Berkata As-Shon’ani : “Dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”. [5]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?

Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.[6]

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”. [7]


Bagaimana jika yang dighibahi tidak diketahui orangnya?.

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwasanya ghibah yang haram adalah jika orang yang dighibahi tersebut jelas diketahui. Adapun jika tidak diketahui orangnya maka bukanlah merupakan ghibah yang haram karena hanyalah yang merasa tersakiti tatkala dighibahi adalah orang yang diketahui. Adapun jika tidak diketahui maka yang dighibahi tidak akan tersakiti dan tidak ada orang yang akan mengabarkan ghibahnya tersebut kepadanya karena ia tidak diketahui.[8]

Al-A’masy berkata, “Mereka (salaf) tidaklah memandang ghibah jika tidak disebutkan nama orang yang sedang disebutkan kejelekannya”[9]

Faktor-faktor pendorong timbulnya ghibah:

Berkata Al-ghozaali:

((Ketahuilah bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya berlaku pada orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.

Adapun yang delapan maka sebagai berikut:

  1. Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki (ghiroh) agama yang kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi timbulnya ghibah
  2. Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat dan sikap basa-basi terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia mengingkari perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan meninggalkannya. Maka iapun mendukung mereka dan ia memandang bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka sebagai untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
  3. Ia merasa bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera menjelek-jelekan orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga kebohongannya inipun laris diterima karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian diapun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku, aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian”
  4. Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut maka iapun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut dengan maksud sebagai pembukaan agar udzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia sendiri).
  5. Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lainseraya berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun mencela orang tersebut.
  6. Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka iapun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya karena ia merasa berat jika mendengar pujian orang-orang terhadap saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad, dan hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.
  7. Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa lalu menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang tertawa (contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum dengan diri sendiri).
  8. Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa terjadi tidak dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.

Adapun tiga sebab yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh syaitan dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan namun syaitan mencampurnya dengan kejelekan.

  1. Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana bisa ia mencintai budak wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku heran dengan si fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia adalah seorang yang jahil”
  2. Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan kasihan, kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan tersebut untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.
  3. Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia melihatnya langsung atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.

Inilah tiga perkara yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka bahwa sikap ta’jub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena Allah maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…)) [10]

___________________________________
Catatan Kaki:

  1. Maksudnya yaitu seseorang tidak bisa menyatakan bahwa harta yang berada pada orang lain adalah miliknya kecuali jika mendatangkan persaksian orang-orang yang adil.
  2. Ihyaa’ Ulumiddiin III/150-151
  3. Ini di zaman Ibnu Taimiyah, bagaimana lagi jika Ibnu Taimiyah hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita lakukan??? Allahul musta’aan
  4. Majmu’ fatawa XXVIII/236-238
  5. (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).
  6. (Subulus salam 4/299)
  7. (Bahjatun Nadzirin 3/47)
  8. Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj XV/222, tatkala beliau menyarah hadits Ummu Zar’
  9. Sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 no 1187
  10. Ihyaa’ Ulumiddiin III/146-148
__________________________________
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 27 Dzulhijjah 1426 (27 Januari 2006)

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja 
__________________________________
insya Allah bersambung
dibagi oleh ummu sufri.
semoga ini dapat menyadarkan orang-orang yang suka tidak sadar hatinya mangajak untuk bergibah karena shetan selalu mengintai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar