Minggu, 06 November 2011

FIKIH CIUMAN

FIKIH CIUMAN

25 Juni 2010 

Perlu sekali kita mengenal jenis-jenis ciuman dari pembahasan berikut ini. Semoga bermanfaat.

«أقسام التقبيل»

Jenis-Jenis Ciuman

ذكر بعض الفقهاء أن التقبيل على خمسة أوجه : قبلة المودة للولد على الخد ، وقبلة الرحمة لوالديه على الرأس ، وقبلة الشفقة لأخيه على الجبهة ، وقبلة الشهوة لامرأته أو أمته على الفم ، وقبلة التحية للمؤمنين على اليد.
وزاد بعضهم قبلة الديانة للحجر الأسود.

Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
  1. Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.
  2. Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
  3. Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.
  4. Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
  5. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.
Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272].

« التقبيل الممنوع»

Ciuman yang terlarang

«أ – تقبيل الأجنبية»
اتفق الفقهاء على عدم جواز لمس وتقبيل المرأة الأجنبية ولو للخطبة.

ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)

Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut [Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al Muhtaj 6/190, Kasyaf al Qana’ 5/10 dan al Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya].

«ب – تقبيل الأمرد»
الأمرد إذا لم يكن صبيح الوجه فحكمه حكم الرجال في جواز تقبيله للوداع والشفقة دون الشهوة ، أما إذا كان صبيح الوجه يشتهى فيأخذ حكم النساء وإن اتحد الجنس ، فتحرم مصافحته وتقبيله ومعانقته بقصد التلذذ عند عامة الفقهاء.

Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)

Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi.
Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ yang menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih. [Ibnu Abidin 5/233, al Zarqani 1/167, Jawahir al Iklil 1/20, 275, al Jamal 4/126, Hasyiah al Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al Qana’ 5/12-15].

«ج – تقبيل الرجل للرجل ، والمرأة للمرأة»
لا يجوز للرجل تقبيل فم الرجل أو يده أو شيء منه ، وكذا تقبيل المرأة للمرأة ، والمعانقة ومماسة الأبدان ، ونحوها ، وذلك كله إذا كان على وجه الشهوة ،

Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan

Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.

وهذا بلا خلاف بين الفقهاء لما روي « عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه : نهى عن المكامعة وهي : المعانقة ، وعن المعاكمة وهي : التقبيل » .

Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman. [Hadits di atas disebutkan oleh al Harawi dalam Gharib al Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal]

أما إذا كان ذلك على غير الفم ، وعلى وجه البر والكرامة ، أو لأجل الشفقة عند اللقاء والوداع ، فلا بأس به.

Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh. [Ibnu Abidin 5/244, 246, al Binayah ‘ala al Hidayah 9/326, 327, Jawahir al Iklil 1/20, al Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al Jamal ‘ala Syarh al Minhaj 4/126].

«د – تقبيل يد الظالم»

Mencium tangan orang yang zalim

صرح الفقهاء بعدم جواز تقبيل يد الظالم ، وقالوا : إنه معصية إلا أن يكون عند خوف ،

Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.

قال صاحب الدر : لا رخصة في تقبيل اليد لغير عالم وعادل ، ويكره ما يفعله الجهال من تقبيل يد نفسه إذا لقي غيره ، وكذلك تقبيل يد صاحبه عند اللقاء إذا لم يكن صاحبه عالما ولا عادلا ، ولا قصد تعظيم إسلامه ولا إكرامه .

Penulis kitab ad Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim. [ad Durr al Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al Ahwadzi 7/527].

«هـ – تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء»
تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء حرام ، والفاعل والراضي به آثمان ، لأنه يشبه عبادة الوثن ، وهل يكفر ؟ إن على وجه العبادة والتعظيم كفر ، وإن على وجه التحية لا ، وصار آثما مرتكبا للكبيرة ، كما صرح به صاحب الدر.

Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.

Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.
Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?

Perlu rincian:
  1. Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.
  2. Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.

Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad Durr. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al Binayah Syarh al Hidayah 9/326 dan 327].

Sumber: Al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 13 hal 129-131, cetakan kelima 1427 H, terbitan Depag Kuwait.

Artikel www.ustadzaris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar