Memahami tauhid perkara yang sangat mulia. Lebih dari itu,
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak kalah mulianya,
bahkan itulah tujuan seorang mempelajari tauhid melalui kitab-kitab para
ulama. Seringkali, kita lupa bahwa tauhid bukan sekedar wacana yang
cukup untuk didiskusikan dan dibaca berulang-ulang. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat : 55).
Saudaraku
sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita-
apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang
tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah
satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk
membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang
bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa
ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan
sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan.
Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka
dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di
sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama
salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu
ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).
Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS.
al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas.
Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang
salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari
ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu
tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian
apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata
cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya,
sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya.
Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan,
sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar
bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang
ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.
Maka
tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan
dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan
belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama.
al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah
tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui
ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu
agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).
Pentingnya ilmu ikhlas
Kita
semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat
yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian
pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya.
Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun
ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup
kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).
Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’
sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu
menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain
adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.
Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai
orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita
berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan.
Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal
dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih
keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan,
sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi
mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan
amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi
berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya
ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu
bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk
beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?
Saudaraku,
perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat
tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang
munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila
mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka
lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia
(riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).
Sebenarnya
apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah
menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni
dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita
ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu
bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut?
Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian
rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu
mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman
mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah
amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam
beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).
Cukuplah
Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita
mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama
kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta
mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh
karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke
dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri
kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita
dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada
dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 20 Muharram 1430 H
–
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar