Selanjutnya pada posting kali ini kita melanjutkan pembahasan
sebelumnya yaitu mengenai macam-macam riba. Sekarang yang kita bahas
adalah dua macam riba yaitu riba an nasi’ah dan riba dalam
utang-piutang.
[Kedua] Riba An Nasi’ah (riba karena adanya penundaan)
Riba
nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda
pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong komoditi ribawi
(emas, perak, kurma, gandum dan garam), baik satu jenis atau berlainan
jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan
atau kedua-duanya.
Dari enam komoditi ribawi dapat kita kelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah emas dan perak. Sedangkan kelompok kedua adalah empat komoditi lainnya (kurma, gandum, sya’ir dan garam).
Jika sesama jenis komoditi di atas dibarter -misalnya adalah emas dan emas- maka di sini harus terpenuhi dua syarat,
yaitu kontan dan timbangannya harus sama. Jika syarat ini tidak
terpenuhi dan kelebihan timbangan atau takaran ketika barter, maka ini
masuk riba fadhl.
Jika komoditi di atas berbeda jenis
dibarter, namun masih dalam satu kelompok -misalnya adalah emas dan
perak atau kurma dan gandum- maka di sini hanya harus terpenuhi satu syarat,
yaitu kontan, sedangkan timbangan atau takaran boleh berbeda. Jadi,
jika beda jenis itu dibarter, maka boleh ada kelebihan timbangan atau
takaran –misalnya boleh menukar emas 2 gram dengan perak 5 gram-. Maka
pada point kedua ini berlaku riba nasi’ah jika ada penundaan ketika barter dan tidak terjadi riba fadhl.
Jika
komoditi tadi berbeda jenis dan juga kelompok dibarter –misalnya emas
dan kurma-, maka di sini tidak ada syarat, boleh tidak kontan dan boleh
berbeda timbangan atau takaran.
Contoh riba nasi’ah sudah kami
berikan sebagian di atas. Contoh lainnya adalah barter emas. Misalnya
emas 24 karat ingin dibarter dengan emas 21 karat dengan timbangan yang
sama. Akan tetapi emas 24 karat baru diserahkan satu minggu lagi setelah
transaksi dilaksanakan. Ini yang dimaksud riba nasi’ah karena sebab
adanya penundaan.
Misalnya lagi adalah dalam masalah tukar menukar
uang –karena uang dapat dianalogikan dengan emas dan perak-. Sufyan
ingin menukarkan uang kertas Rp.100.000,- dengan pecahan Rp.1000,-
kepada Ahmad. Akan tetapi karena Ahmad pada saat itu hanya memiliki 60
lembar Rp.1000,- , maka 40 lembarnya lagi dia serahkan satu jam kemudian
setelah terjadinya akad. Penundaan ini termasuk dalam riba nasi’ah.
Riba nasi’ah juga disebut riba jahiliyah. Riba ini adalah riba yang paling berbahaya dan paling diharamkan.
[Ketiga] Riba Al Qardh (riba dalam hutang piutang)
Riba dalam hutang piutang di sini sebenarnya dapat digolongkan dalam riba nasi’ah. Yang dimaksud dengan riba al qardh
dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan
mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa
materi atau pun jasa. Ini semua adalah riba dan pada hakekatnya bukan
termasuk mengutangi. Karena yang namanya mengutangi adalah dalam rangka
tolong menolong dan berbuat baik. Jadi –sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di-, jika bentuk utang piutang yang
di dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan menukar dirham
dengan dirham atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya ditunda. (Lihat Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)
Para
ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan
berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)
Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .
“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”
Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,
“Para
ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang mensyaratkan
kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia
pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah
riba.”
Lalu kenapa bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutang ini terlarang?
Ibnu
Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk
tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan
ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama
mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Lihat Al Mughni, 9/104).
Hal
yang serupa juga dikatakan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i. Beliau
mengatakan, “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhum, mereka semua melarang piutang yang di dalamnya
terdapat keuntungan. Alasannya, karena utang piutang adalah untuk tolong
menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan adanya keuntungan, maka
akad utang piutang berarti telah keluar dari tujuannya (yaitu untuk
tolong menolong).” (Al Muhadzdzab, 2/ 81)
Begitu pula kenapa mengambil keuntungan dalam utang piutang itu terlarang? Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dalam lafazh lain dikatakan,
نَهَى عَنْ سَلَفٍ وَ بَيْعٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan dalam satu akad.” (HR. Tirmidzi dan An Nasaa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Kami Sudah Saling Ridho
Jika
ada yang mengatakan, “Kami diberi tambahan dalam pengembalian hutang
sebagai yang kami syaratkan karena sudah sama-sama ridho (alias suka
sama suka). Lalu kenapa mesti dilarang?”
Ada dua sanggahan mengenai hal ini:
Pertama,
ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di
dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan.
Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan
dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang
menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan
karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan
tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang
dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan
tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi
tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah
teranggap sama sekali.
Kedua,
pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan.
Orang yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut jika orang yang
berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho,
namun senyatanya bukan ridho.
(Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)
Penutup
Jika
seseorang meninggalkan berbagai bentuk muamalah riba di atas dan
menggantinya dengan jual beli yang diridhoi oleh Allah, pasti dia akan
mendapat ganti yang lebih baik.
Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya
jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan
memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu
memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri
dari yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Selesai disusun di shubuh hari, 19 Rajab 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar