Talangan Haji: Contoh Nyata Transaksi Riba
Ketika
sedang menunggu shalat berjamaah di salah satu masjid, tiba-tiba ada
seorang jamaah yang menyapa saya, "Mas, daftar haji untuk tahun ini,
baru bisa berangkat 2018. Untuk bisa daftar, cukup dengan modal 5
jutaan. Nanti, bayar DP 5 jutaan di bank-bank syariah. Sambil melunasi,
kita bayar ujrah sekitar 1,5 juta." Merasa penasaran, saya
balik bertanya, "Kok, malah kita disuruh bayar, kita 'kan yang naruh
uang di bank?" Bapak itu, yang kebetulan pemilik salah satu KBIH di
Yogyakarta, akhirnya melengkapi penjelasannya, "Kita bayar 5 juta, nanti
bank syariah memberikan fasilitas talangan haji sebesar 25 juta. Ujrah itu sebagai ganti dari biaya talangan haji yang diberikan bank."
Sedikit
memahami proses transaksi yang beliau sampaikan, saya pun menyelai, "Oh
..., itu transaksi riba!" Sang Bapak terheran, "Masak riba? Itu,
pelaksananya bank syariah." Saya mencoba menjelaskan, "Tapi, hakikatnya
'kan bank meminjamkan uang ke kita untuk pelunasan biaya haji, dan kita
membayar bunga pinjaman ke bank. Itu riba ...." Sang Bapak masih belum
bisa menerima, "Ah, enggak lah .... Masak riba? Mestinya 'kan sudah
direkomendasi dewan syariah yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan
transaksi bank syariah." Sesaat sebelum iqamah dikumandangkan, Sang
Bapak mengatakan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat
uang?†Sebelum sempat menyempurnakan diskusi, iqamah dikumandangkan.
Ya, itulah sekilas gambaran pemahaman orang awam
terkait dengan transaksi yang dijalankan oleh bank-bank syariah di
tempat kita. Nama nge-tren
"syariah", yang dipampang mengiringi kata "bank", telah menjadi legitimasi tersendiri bagi semua kegiatan transaksinya. Dengan nama ini,
banyak orang yang menganggap semua transaksi di bank tersebut telah dijamin seratus 100% halal, la raiba fihi (tanpa ada keraguan di dalamnya).
Di sisi lain, kesadaran kaum muslimin di tempat kita
akan bahaya dan haramnya riba (baca: bunga bank) banyak mengalami
kemajuan. Ini adalah satu realita yang patut kita banggakan dan kita
syukuri. Realita ini setidaknya telah membuat mereka sedikit selektif
dalam melakukan transaksi keuangan.
Dua fenomena di atas tidaklah membuat bingung para penggiat
kegiatan perbankan. Semenjak munculnya fenomena "bank syariah" dan
"BMT", semua lembaga bank konvensional berduyun-duyun menjelmakan
dirinya menjadi bank syariah Semua berusaha bernaung di bawah
legitimasi syariah. Tidak hanya itu; semua istilah yang biasanya
digunakan dalam transaksi bank konvensional, dipaksa untuk
disesuaikan dengan istilah yang ber-bau syariah.
Terkait dengan hal ini, saya teringat sebuah hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتى الخمر يسمونها بغير اسمها
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتي الخمر . يسمونها بغير اسمها . يعزف على رءوسهم بالمعازف
والمغنيات يخسف الله بهم الأرض . ويجعل منهم القردة والخنازير
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang
meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namannya, sambil
ditabuhnya alat-alat musik di dekatnya, kemudian Allah menenggelamkan
(sebagian) mereka ke bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan
babi." (HR. Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Semua orang paham bahwa maksiat itu jelek. Semua orang paham bahwa
barang haram itu tidak boleh dikonsumsi. Karena itu, kita tidak jumpai
ada dukun yang mempromosikan dirinya dengan nama dukun atau penyihir. Demikian pula, kita tidak jumpai ada minuman keras yang
diiklankan dengan nama khamar, namun mereka gunakan nama
yang sangat indah: bir (dalam bahasa Arab: البِرّ, artinya:
'berbakti' atau 'berbuat baik').
Pada kasus yang sama, ketika banyak orang mulai sadar akan haramnya riba (baca: bunga), mereka gunakan nama ujrah
(dalam bahasa Arab: أجرة, artinya 'upah') untuk menyebut bunga
pinjaman, dan bagi hasil untuk menyebut bunga tabungan.
Hilah (kamuflase kemaksiatan)
Permasalahan
akan lebih ringan, ketika perbuatan maksiat itu dilakukan tanpa
diiringi dengan hilah (trik untuk menghalalkan perkara yang haram).
Ketika orang yang melakukan perbuatan maksiat itu tahu bahwa yang dia
lakukan adalah kemaksiatan, masih ada peluang baginya untuk bertobat.
Karena itu, balasan bagi orang yang melakukan hilah lebih berat
dibandingkan kemaksiatan yang tidak disertai dengan hilah. Saat
menjelaskan hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
في هذا الحديث وعيد شديد على من يتحيل في تحليل ما يحرم بتغيير اسمه
"Pada
hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan rekayasa
untuk menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan cara
mengubah namanya." (Fathul Bari, 10:56)
Bahkan, di
antara sebab siksaan yang diberikan kepada orang Yahudi adalah kebiasaan
mereka melakukan hilah untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan.
Allah berfirman,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْت فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Sungguh,
kalian telah mengetahui tentang orang-orang yang melampaui batas di
hari Sabtu. Maka, kami firmankan, 'Jadilah kalian kera yang hina!'” (QS. Al-Baqarah:65)
Hukuman
ini diberikan oleh Allah ketika mereka melakukan hilah untuk melanggar
hal yang Allah larang. Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini menceritakan
tentang penduduk kampung yang durhaka terhadap aturan Allah dan
melanggar perjanjian dengan-Nya, di saat Allah memerintahkan mereka agar
mengagungkan hari Sabtu sebagai waktu beribadah (sehingga mereka
dilarang untuk menangkap ikan). Akan tetapi, mereka melakukan hilah
dengan menangkap ikan di hari Sabtu, (yaitu dengan cara) memasang jaring
dan perangkap ikan di hari Jumat. Ketika hari Sabtu, banyak ikan-ikan
yang berdatangan dan masuk dalam perangkap mereka. Malam harinya
(setelah berlalunya hari Sabtu), mereka mengambil ikan-ikan itu. Karena
perbuatan mereka ini, Allah mengubah mereka menjadi kera.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)
Inti
pelanggaran penduduk kampung Yahudi ini adalah perbuatan hilah yang
mereka lakukan, dalam rangka melanggar aturan Allah. Ini merupakan
beberapa hikmah sehingga Allah mengubah mereka menjadi kera; kera
merupakan binatang yang paling mirip dengan manusia. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Dengan menimbang bahwa perbuatan dan hilah
yang mereka lakukan itu bentuknya mirip dengan kebenaran secara zahir
(yang nampak) namun aslinya bertolak belakang dengan kebenaran secara
batin (tidak nampak), maka balasan yang mereka terima itu sejenis dengan
amalnya (yaitu diubah menjadi hewan yang mirip dengan manusia).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)
Kaidah penting dalam memahami istilah
Berdasarkan hadits Abu Malik Al-Asy'ari di atas dan beberapa hadis yang semakna, para ulama menetapkan sebuah kaidah:
الأسماء لا تغير الحقيقة والحكم
“Perubahan nama tidak mengubah hakikat dan hukum.”
Inilah
kaidah yang selayaknya kita pegang dalam memahami berbagai fenomena
baru. Lebih-lebih, terkait dengan aturan halal-haram. Betapa banyak
orang yang berupaya untuk berusaha menghalalkan sesuatu yang Allah
haramkan.
Di antara sikap yang tepat, terkait muamalah, jangan
sungkan-sungkan untuk menanyakan setiap transaksi baru kepada ahlinya.
Setidaknya, ini bisa menjadi langkah hati-hati bagi kita dalam
bermuamalah.
Transaksi sosial bukan untuk mencari keuntungan
Di
bagian akhir diskusi yang tidak seimbang antara saya dengan Sang Bapak,
ada bagian penting untuk kita perhatikan, “Kalau itu dilarang, terus,
dari mana bank dapat uang?”
Saudaraku, kaum muslimin, patut untuk
kita pahami bahwa transaksi keuangan yang kita lakukan secara umum bisa
kita kelompokkan menjadi dua:
Pertama: Transaksi mu'awwadhat
(komersial). Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, permodalan, dan yang
lainnya. Untuk transaksi model pertama ini, kita diperkenankan mengambil
keuntungan sesuai dengan yang kita inginkan.
Kedua: Transaksi tabarru'at
(sosial). Misalnya: utang-piutang atau pinjam-meminjam. Dalam transaksi
yang murni untuk maksud sosial, para ulama menyepakati terlarangnya
mengambil keuntungan dari salah satu pihak. Hal ini berdasarkan riwayat
dari Fudhalah bin Ubaid radhiallahu 'anhu, bahwa beliau mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan
yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan,
bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Diriwayatkan dari Anas bin
Malik radhiallahu 'anhu,
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila
kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang
berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan
berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan
jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki beberapa
penguat)
Dalam riwayat yang lain, dari Abdullah bin Sallam, bahwa
beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang
yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan
ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)
Ketika
seseorang tidak sanggup melakukan transaksi sosial tanpa keuntungan,
sebaiknya dia tidak coba-coba memaksa dirinya untuk melakukannya, karena
justru dia akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang lebih besar.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari jaring-jaring riba. Aamiin.
***
Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.
Artikel www.pengusaha muslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar