Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah ta’ala
mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan
hikmah-Nya yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya
pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua
orang yang menjalankannya dengan baik.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi
(kemaslahatan/kebaikan) hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24). (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 4/34)
Imam Ibnul Qayyim -semoga Allah ta’ala merahmatinya-
berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat
hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka
dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki
kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling
hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan
seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun
batin.” (Kitab al-Fawa-id, hal. 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Semakna dengan ayat di atas Allah ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl: 97)
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)”
dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal”
dan kebaikan-kebaikan lainnya. (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 2/772)
Oleh karena itulah, jalan keluar dan solusi dari semua masalah yang
kita hadapi, tidak terkecuali masalah dalam rumah tangga dan problema
pendidikan anak, hanya akan dicapai dengan bertakwa kepada Allah ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya),
dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Qs. ath-Thalaaq: 2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya,
serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera
(menyelesaikan masalah yang dihadapinya) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/489).
Anjuran memperbanyak keturunan
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Sesungguhnya
aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan
(berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa
punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah
perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya
aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat
lain (pada hari kiamat nanti).” Bagi seorang perempuan yang masih
gadis. kesuburan ini diketahui dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan
saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab ‘Aunul Ma’buud,
6/33-34). (HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim
(2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh
al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang
ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi
perempuan yang subur untuk tujuan tersebut. Lihat kitab Zaadul Ma’aad (4/228), Aadaabuz Zifaaf (hal. 60) dan Khataru Tahdiidin Nasl (8/16- Muallafaatusy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Anas berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya.”
Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat
banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari
seratus orang. (HSR. al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481),
lafazh ini yang terdapat dalam Shahih Muslim)
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah ta’ala, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam
an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Syarah Shahih Muslim, 16/39-40)
Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang saleh, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika
seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal (kebaikan)nya
kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya
dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus
diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya.”
(HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan
oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah, no. 1598)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak),
maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka
dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun
kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.” (Kitab al-Maudhuuaat (2/281), al-’Ilal mutanaahiyah (2/636) keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan Silsilatul Ahaaditsidh Dha’iifah” (no. 3580))
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan membatasi keturunan,
seperti hadits “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun mendatang
adalah semua orang yang ringan punggungnya (tanggungannya); (yaitu)
yang tidak memiliki istri dan anak”, dan yang semakna dengannya, semua
hadits tersebut adalah hadits yang lemah bahkan beberapa diantaranya
batil (palsu).
Demikian pula hadits-hadits yang menunjukkan tercelanya memiliki
keturunan, semuanya hadits palsu. Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya
dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir.” (Kitab al-Manaarul Muniif, no. 206)
Banyak anak tidak berarti banyak masalah
Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam menganjurkan untuk
memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita mengetahui kelirunya
anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak paham agama), yang
mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah. Karena tidak
mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup manusia,
menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi mereka. Hal
ini disebabkan agama Islam tidak hanya menganjurkan memperbanyak
keturunan, tapi juga menekankan kewajiban untuk mendidik keturunan
dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan
ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan
keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api
neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua
perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara
istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan
mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk
(melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat
(dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan
perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada
orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)
Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini justru merupakan faktor utama -setelah taufik dari Allah ta’ala-
yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus sebagai
penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk memalingkan
manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke dunia ini.
(Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”)
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan
(keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan
(taufik) dari Allah ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa
kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai
dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam
mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan
baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4). (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14)
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari
(gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau
anugerahkan kepada kami.” Maksud Rezeki pada hadits ini termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab Faidhul Qadiir (5/306).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika
seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut,
kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka
setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.” (HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim, no. 1434)
Konsep Islam tentang Keluarga Berencana
Berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas, maka hukum asal
membatasi atau mengatur jumlah keturunan (baca: Keluarga Berencana)
dalam Islam adalah diharamkan, karena menyelisihi petunjuk syariat
Islam yang melarang keras perbuatan tabattul (hidup
membujang selamanya) (Dalam hadits shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan
3/245) dan Ibnu Hibban (no. 4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani
dalam Irwa-ul Ghalil (6/195)), dan memerintahkan untuk menikahi
perempuan yang subur (banyak anak). Oleh karena itu, mengonsumsi pil
pencegah kehamilan atau obat-obatan lainnya untuk mencegah kehamilan
tidak diperbolehkan (dalam agama Islam), kecuali dalam kondisi-kondisi
darurat (terpaksa) yang jarang terjadi (Fatawa Lajnah Daaimah (19/319)
no (1585) yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dengan
sedikit penyesuaian).
Ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya
membatasi keturunan, imam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Barangsiapa yang memperhatikan keterangan yang telah kami sampaikan
dan keterangan para ulama yang kami nukilkan (sebelumnya), dia akan
mengetahui (dengan yakin) bahwa pendapat yang membolehkan untuk
membatasi keturunan adalah pendapat yang berseberangan dengan syariat
Islam yang sempurna, yang (selalu berusaha) mewujudkan dan
menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan bagi manusia), serta menolak dan
memperkecil kemudharatan (keburukan/kerusakan bagi manusia). (Bahkan
pendapat ini) bertentangan dengan fitrah manusia yang suci, karena Allah
ta’ala menjadikan fitrah suci manusia untuk mencintai
anak-anak dan mengusahakan sebab-sebab untuk memperbanyak keturunan.
Sungguh Allah dalam al-Qur-an telah menjadikan banyaknya keturunan
sebagai anugerah (bagi manusia) dan menjadikannya termasuk perhiasan
(kehidupan) dunia. Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ
“Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (Qs. an-Nahl: 72)
Allah ta’ala juga berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia.” (Qs. al-Kahfi: 46)
(Kemudian) barangsiapa yang memperhatikan pembahasan masalah ini
(dengan seksama) dia akan mengetahui bahwa pendapat yang membolehkan
untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang bertentangan dengan
kemaslahatan (kebaikan) umat Islam (sendiri). Karena sungguh banyaknya
keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan,
keperkasaan dan kewibawaan umat Islam (di hadapan umat-umat lain).
Sedangkan membatasi keturunan bertentangan dengan semua (tujuan)
tersebut, karena menjadikan sedikitnya (jumlah) dan lemahnya kaum
muslimin, bahkan menjadikan musnah dan punahnya umat ini. Ini adalah
perkara yang jelas bagi semua orang yang berakal dan tidak butuh
argumentasi (untuk membuktikannya) (Majmu’u Fatawa wa Maqaalaat Syaikh Bin Baaz (3/19). Lihat juga tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Bahayanya Membatasi Keturunan dalam “Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu” (8/16)).
Oleh karena itulah, Syaikh Shaleh al-Fauzan menegaskan bahwa
pembatasan jumlah keturunan adalah pemikiran buruk yang disusupkan
musuh-musuh Islam ke dalam tubuh kaum muslimin, dengan tujuan untuk
melemahkan dan memperkecil jumlah kaum muslimin (Al-Muntaqa Min fatawa al-Fauzan, 69/20).
Berbagai alasan mengapa ber-KB dalam tinjauan syariat Islam
Adapun alasan-alasan yang di kemukakan oleh kebanyakan orang yang melakukan KB,
seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezeki atau kesulitan mendidik
anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan dengan
petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau yang
menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran
akan kurangnya rezeki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah
ta’ala. Karena Allah ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezeki bagi mereka…
Allah berfirman:
وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa
(mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya
dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-’Ankabuut: 60)
Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya
mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena
betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat
menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya)
betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat
mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang
menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah
kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala. Jika seorang hamba
bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang
sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya
(dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4) (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14).
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan
menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh
anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman
sekarang mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun
orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah
lahir karena takut miskin. (Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/19), dan syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 65)).
Allah ta’ala berfirman:
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خِطْأ كبيراً
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Qs. al-Israa’: 31)
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang di kemukakan khususnya oleh
para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk
membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu
disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang
dipimpin oleh imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh. (Lihat Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/115-125)).
Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang
jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan
kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu,
(upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan
dengan cara apapun akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik
dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani. (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah, (5/127), dengan sedikit penyesuaian)
Perbedaan antara membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya
Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga Berencana adalah
diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan
darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal
ini para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah
kehamilan atau mengaturnya, sebagai berikut:
Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan
kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu,
dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah
kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan
dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan.
(Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).
Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam agama Islam
diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang
dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas.
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl
(menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan
(pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari
hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa
Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang
ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang
dibenarkan) dalam syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu
menanggung kehamilan (karena penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia
hamil akan membahayakan kelangsungan hidupnya. Maka dalam kondisi
seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan,
disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena kehamilan
(dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi seperti
ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat
(terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada
sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh
(diharamkan), karena kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang)
diperintahkan dalam Islam (untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin).
Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan itu (bertujuan
untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin) membatasi
(jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh Islam,
maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama
ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli
kedokteran mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak
mengetahui hukum-hukum syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka membatasi
(jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian
juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi
tertentu yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi
yang mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak
wajar, dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil melakukan operasi
(caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari kandungannya), atau kondisi yang
jika seorang wanita hamil maka akan membahayakannya karena adanya
penyakit atau (sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka
untuk menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan hidup
(bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam datang untuk
mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan… (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/127)).
Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai
sarana untuk mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan untuk
menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat reproduksi, tetapi
tujuannya mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu (bukan
selamanya), karena adanya maslahat (kebutuhan yang
dibenarkan dalam syariat) yang dipandang oleh kedua suami istri atau
seorang ahli (dokter) yang mereka percaya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’
(5/114) Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/15)).
Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua syarat:
- Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.
- Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula (diperbolehkan)
mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda
kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena
adanya suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri
dalam kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang
membuat istri tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk
bayinya, maka dia (boleh) mengonsumsi obat penunda kehamilan, supaya
dia bisa berkonsentrasi (untuk mempersiapkan diri) menyambut kehamilan
yang baru setelah selesai dari hamil yang pertama, maka dalam kondisi
(seperti) ini diperbolehkan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/24-25)).
Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Bin Baz:
“…Adapun mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena
alasan yang benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah
(sehingga) tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk
menyusui bayi yang sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan
tersebut (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/428) no (16013)).
Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan
sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah
lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita
hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam
fatwa Lajnah Daimah (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15).
Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan penggunaan obat
pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang dibenarkan
dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan beberapa
hal berikut:
- Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya, sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin Nasl (8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286))
- Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan (Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah (1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah (28/6)).
- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika
memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan
dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena
aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya
(Lihat Tafsir al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin
(10/175)), adapun selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi
yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan (Lihat
kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)). Berdasarkan keumuman makna firman Allah ta’ala:
والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين
“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Qs. al-Mu’minuun: 5-6)
Penutup
Inilah keterangan yang dapat kami sampaikan tentang hukum KB, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta penjelasan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi kita dan bagi semua orang yang membaca dan
merenungkannya. Dan semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan
petunjuk-Nya kepada kaum muslimin agar mereka selalu kembali kepada
petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan mereka.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 4 Jumadal uula 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar