Pertanyaan yang sering muncul adalah Bagaimanakah hukum
halal-haramnya cacing dan jangkrik?. Dapatkah cacing dan jangkrik
dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah kita mengkonsumsi cacing untuk
obat seperti dalam ramuan shin she yang menggunakan cacing kering untuk mengobati sakit tipes?
Berdasarkan pengamatan kaidah fiqih dan pertimbangan ushul
fiqih sebelum mencari dalil-dalil (nash) tentang halal haramnya cacing
dan jangkrik maka kita perlu menegaskan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.22) bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh (al-Ashlu fil asya’ al-ibahah)
menurut beliau bahwa hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan
manfaatnya adalah halal dan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum
keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Maka jika tidak ada nash seperti itu maka hukumnya kembali kepada asalnya yakni boleh. (istishab hukmil ashl). Prinsip inilah yang dipakai Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan aqidah. (Qawa’id Nuraniyah Fiqhiyah, hal. 112-113)
Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas (sharih), firman Allah: “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit! Dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS.Al-Baqarah:29) Demikian
pula dalam surat Al-Jatsiyah:13 dan Luqman:20. Inilah bentuk rahmat
Allah kepada umat manusia dengan berlakunya syariah yang memperluas
wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh
Nabi saw: “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya maka ia adalah
halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan maka (hukumnya) haram.
Sedang apa yang Dia diamkan maka ia adalah suatu yang dimaafkan. Maka
terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu.” (HR. Hakim dan Bazaar)
Ketika Rasulullah saw ditanya tentang hukum mentega, keju dan keledai
liar, beliau enggan menjawab satu persatu masalah parsial ini
melainkan beliau alihkan kepada kaidah dasar hukum agar mereka dapat
cerdas menyimpulkan segala persoalan dengan sabdanya: “Sesuatu yang
halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu
yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan
apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang
dimaafkan (dibolehkan) untuk kamu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bahkan Rasulullah melarang kita untuk mencari-cari alasan untuk
mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu maka jangan kamu abaikan,
dan telah menggariskan beberapa batasan maka jangan kamu langgar dan
telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kamu terjang serta telah
mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan
maka jangan kamu permasalahkan.”(HR. Dar Quthni)
Bila kita telusuri berbagai macam kitab-kitab fiqih dalam masalah
makanan, niscaya akan kita temukan suatu kesimpulan bahwa hukum asal
makanan adalah halal dan tidak dapat diharamkan kecuali berdasarkan
dalil khas yang spesifik. (Mausu’ah Fiqhiyah, Kuwait, vol V hal. 123)
Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal
maupun yang haram. (QS. Al-A’raf: 157, An-Nisa’:29, Al-Maidah:4,
Al-An’am: 119, 145). Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa
prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila terdapat larangan dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah) Di antara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:
1. Dipastikan dapat menimbulkan dharar (bahaya) bagi fisik manusia. Allah berfirman: “Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:195). Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad.) dan sabdanya: “Barang
siapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya
akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahanam
selama-lamanya.” (HR. Bukhari)
2. Memabukkan, melalaikan atau menghilangkan ingatan. Seperti segala
jenis minuman keras, obat-obatan terlarang, candu, narkotika dan zat
adiktif lainnya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90). Rasulullah saw bersabda: “segala sesuatu jika banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya pun haram.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
3. Najis dan terkontaminasi najis. Contoh: babi, darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwait, vol. V/125). Allah berfirman: “Katakanlah:”Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena semua itu
najis atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145).
Apabila kita dapati Nabi saw melarang beberapa jenis makanan atau
binatang di luar konteks yang dinashkan oleh al-Qur’an maka ulama fiqih
dan ushul seperti Imam Asy-Syaukani mengkategorikan larangan Nabi tersebut sebagai larangan makruh bukan haram. Atau bila terdapat kesesuaian ‘illat (sebab) hukum pengharaman dalam al-Qur’an seperti najis atau indikasi najis, rijs atau fisq yang semuanya digolongkan khabaits kebalikan halal yang identik dengan thoyyibat secara umum. Maka hal itu termasuk kategori qiyas (analogi) terhadap larangan al-Qur’an.
As-Syaukani melihat tidak ada relevansinya pengharaman binatang yang
diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh maupun yang dilarang Nabi untuk
dibunuh merupakan konsekuensi logis dan kultural untuk menjadi dalil
pengharaman untuk memakannya maka hal itu tidak dapat dijadikan dasar
pengharaman. Namun bila binatang yang diperintahkan Nabi untuk
membunuhnya maupun yang dilarang untuk membunuhnya termasuk kategori khabaits (najis) maka pengharamannya berdasarkan ayat di atas, jika tidak mengandung unsur khabaits yang manshus
(ditegaskan oleh nash ayat) maka hukumnya kembali kepada hukum asal
yakni halal berdasarkan dalil dan kaidah umum. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, V/14)
Adapun hukum cacing tanah dan jangkrik menurut uraian kaidah hukum di
atas adalah kembali kepada hukum asal makanan yakni halal, karena
tidak ada nash tegas maupun qiyas yang relevan untuk mengharamkannya
ataupun memasukkannya dalam kategori khabaits (najis) hanya
berdasarkan perasaan geli dan jijik yang nisbi (relatif) sementara
hukum dibangun di atas dasar kepastian dan universalitas. Sebagian
ulama mengatakan bahwa boleh mengkonsumsi cacing dan semua binatang
melata ataupun serangga selama aman (secara medis maupun pengalaman
empirik) dari racun ataupun bakteri yang membahayakan kesehatan.
Apalagi sampai kini secara empirik dan medis belum ditemukan indikasi
yang membahayakan dan kita tidak dituntut oleh Allah untuk mengetahui
sesuatu di luar kemampuan kita sehingga kita terhalang dari
memanfaatkan apa yang Allah ciptakan untuk kita. (Ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir, vol. II/115, Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, V/510, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, II/10)
Lebih tegas dan secara khusus ulama tafsir (mufassirun) seperti Imam
As-Suyuthi dalam tafsir Al-Jalalain ketika menafsirkan kata (khabaits)
dalam surat Al-Al-A’raf’:157 mengatakan khabits itu adalah seperti
bangkai dan sebagainya (segala yang diharamkan Allah secara
eksplisit/terang dalam al-Qur’an). Sedangkan Ibnu Katsir dalam
menafsirkan ayat di atas (Wa yuhillu lahum ath-thayyibat wa yuharrimu ‘alaihim al-khabaits) mengatakan: “Maknanya adalah menghalalkan bagi mereka apa yang mereka telah haramkan sebelumnya atas diri mereka bahiirah
(unta yang telah beranak lima kali dan anak kelimanya jantan, lalu
unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan dan tidak boleh
ditunggangi lagi serta tidak boleh diambil susunya) saaibah (unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran suatu nazar) washiilah
( seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan
dan betina, maka yang jantan ini disebut washilah, tidak disembelih dan
diserahkan kepada berhala) dan haam (unta jantan yang tidak
diganggu gugat lagi karena telah dapat membuntingkan unta betina
sepuluh kali; QS. Al-Maidah:103) dan mengharamkan atas mereka
al-khabaits. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dimana
beliau menafsirkannya: yaitu seperti daging babi, riba dan apa yang
mereka halalkan dari makanan yang Allah ta’ala haramkan. Sebagian ulama
mengatakan: Setiap makanan yang Allah halalkan (dalam kitab-Nya) ia
adalah thayyib (baik) dan bermanfaat bagi tubuh dan agama, sedangkan
apa yang diharamkan-Nya maka ia adalah khabits dan berbahaya bagi tubuh
dan agama.” (Tafsir Ibnu Katsir, II/244)
Imam Al-Qurthubi menegaskan dalam menafsirkan ayat tersebut: “Menurut
mazhab imam Malik bahwa yang dimaksud dengan ath-thayyibat adalah
al-muhallalat; yang seolah-olah Allah menyifati apa yang dihalalkan-Nya
dengan thayyib, karena lafazh ini mengandung makna pujian dan
sanjungan. Dengan logika ini kita katakan bahwa yang dimaksud dengan
al-khabaits adalah al-muharramat (apa yang diharamkan Allah), karenanya
Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-khabaits adalah daging babi, riba dan lain sebagainya.”
Apalagi agrobisnis cacing dan jangkrik diperuntukkan untuk konsumsi
binatang ternak atau piaraan, farmasi dan kosmetik yang tidak dimakan,
maka hukumnya lebih ringan lagi. Meskipun kita telah mendudukkan hukum
asalnya yakni halal. (Berdasarkan pada kaidah halal-haram makanan dan
minuman dalam al-Qur’an: QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3-5, 87, 145,
Al-A’raf:32, Al-An’am:119, Yunus:59, An-Nahl:35, 115, 116, Al-Isra’:70,
Al-Hajj:3, At-Tahrim:1) Adapun mengenai media hidupnya yang sebagian
dari kotoran sapi (binatang yang halal dimakan dagingnya) adalah bukan
najis dan tidak dapat dimasukkan dalam kategori jallalah. yang
dimakruhkan ulama (yakni binatang yang sebagian besar media hidupnya
barang-barang najis. Dan menurut ulama kotoran binatang yang dimakan
dagingnya seperti unta, sapi tidak najis, di samping itu bukan makanan
pokok satu-satunya. Itupun masih diperselisihkan ulama dan paling berat
mereka menghukuminya makruh tidak sampai haram. (Al-Mathalib, VI/309,
Az-Zuhaili, II/513) Demikian pula bisnis dalam hal ini hukum prinsipnya
juga halal termasuk mengkonsumsinya untuk obat-obatan. Selama tidak
diketemukan unsur-unsur lain yang mengharamkannya. Semoga Allah
memberkati usaha saudara dan dapat bermanfaat bagi umat manusia. Wallahu A’lam. Wabillahit Taufiq wal Hidayah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar