Kamis, 14 November 2013

AL-QURAN BUKAN UNTUK ORANG MATI




Adalah kebiasaan di beberapa daerah, orang membaca kitab suci al-Qurân –atau membaca surat Yâsin- kemudian pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah mati. Bahkan sebagian orang, ada menyewa atau membayar seseorang atau sekelompok orang untuk membaca al-Qurân dan menghadiahkan pahalanya kepada keluarganya yang telah meninggal dunia. Pembacaan al-Qurân ini terkadang dilakukan di rumah duka, di kuburan atau lainnya. Benarkah perbuatan mereka itu menurut syariat Islam?

Membaca al-Qurân untuk orang mati tidak dibenarkan dalam agama Islam dengan alasan-alasan sebagai berikut :

  • Membaca al-Qurân lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah mati tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , para sahabat dan para tabiin. Sementara kewajiban kita dalam beragama adalah mengikuti petunjuk, bukan membuat perkara baru. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. [Ali Imrân/3:31]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya pada (diri) Rasûlullâh itu telah ada suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh. [Al-Ahzâb/33:21]

  • Orang yang membolehkan membaca al-Qurân lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah mati, dia harus mendatangkan dalil dari al-Qurân atau as-Sunnah. Jika dia tidak bisa mendatangkan dalil, berarti dia telah berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu.


Allâh Subhanahu wa Taala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allâh tanpa ilmu) [al-Arâf/7:33]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah mengatakan, Berbicara tentang Allâh tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan Allâh. Bahkan itu lebih tinggi dari perbuatan syirik. Karena dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Berbicara tentang Allâh tanpa ilmu, meliputi berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukum Allah, syariat-Nya dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla . Ini lebih besar dosanya daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syariat dan agama Allah Azza wa Jalla .[1]

  • Barangsiapa membolehkan membaca al-Qurân untuk dihadiahkan pahalanya buat orang yang telah mati, berarti dia telah membuat syariat yang tidak diidzinkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman mengingkari orang-orang musyrik yang mengikuti syariat agama yang tidak diidzinkan oleh Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan. [asy-Syûrâ/42: 21]

  • Perbuatan tersebut bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53: 38-39]
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, Maksudnya adalah seorang manusia hanya mendapatkan pahala dari usaha dan balasan perbuatannya sendiri. Amalan seseorang tidak bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain. Keumuman makna dalam ayat ini dikecualikan dengan semisal firman Allâh Azza wa Jalla :
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. [ath-Thûr/52:21]
Dan semisal riwayat tentang syafaat para Nabi dan Malaikat untuk para hamba, doa orang hidup untuk orang-orang yang telah mati dan semacamnya. Orang yang mengatakan bahwa ayat ini mansûkh (hukumnya dihapus) dengan perkara-perkara tadi adalah perkataan yang tidak benar. Karena dalil yang khusus tidak menghapus dalil yang umum, namun hanya mengkhususkannya (mempersempit keumuman maknanya). Sehingga semua dalil yang menunjukkan bahwa manusia bisa mendapatkan manfaat dari selain usahanya sendiri itu adalah dalil yang mengkhususkan keumuman ayat di atas. (Fathul Qadir, tafsir surat an-Najm ayat 39)
Adapun membaca al-Qurân lalu pahalanya dihadiahkan buat orang yang telah mati, tidak ada dalil yang menuntunkannya.

  • Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qurân sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia. Sehingga orang hidup bisa memanfaatkannya, mengikuti petunjuknya di dunia ini dan mengamalkannya. Di akhirat, orang-orang yang seperti ini akan dituntun oleh al-Qurân menuju surga.


Sedangkan orang yang telah mati, maka amalannya telah terputus, dia tidak mampu menambahi atau mengurangi amalannya.
Perbuatan sebagian orang di zaman ini berlawanan dengan kondisi di atas. Ketika masih hidup, mereka meninggalkan al-Qurân, enggan membaca atau mendengarkannya. Mereka lebih suka menyanyi, mendengar musik, menonton film dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat di akhirat. Jika ada orang mati, mereka membacakan al-Qurân buat jenazah tersebut pada acara pemakamannya atau di kuburnya.
Mereka ini ibarat orang mogok makan sampai mati kelaparan. Setelah dia mati, orang-orang mendatanginya membawakan makanan agar dia memakannya. Al-Qurân hanya bermanfaat bagi orang yang hidup selama masih berada di dunia, ladang beramal. Adapun setelah mati, maka dia telah pindah dari fase beramal menuju fase pembalasan amal. Pada waktu itu al-Qurân tidak bermanfaat baginya, karena ketika hidup dia meninggalkan al-Qurân, padahal dia mampu mengambil manfaat darinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
Al-Qurân itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. [Yâsîn/36:69-70]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman,
كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ ۚ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا خَالِدِينَ فِيهِ ۖ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلًا
Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qurân). Barangsiapa berpaling dari al-Qurân, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat. [Thâha/20:99-101]

  • Membaca al-Qurân adalah ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah, artinya harus mengikuti tuntunan. Jika seseorang beribadah tanpa tuntunan, berarti dia beribadah kepada Allâh semaunya sendiri, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ! Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ?,Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). [al-Furqân/25:43-44]

  • Pahala suatu amal belum tentu diraih oleh orang yang mengamalkannya. Bagaimana mungkin ia menghadiahkan sesuatu yang belum pasti kepada orang lain. Karena amalan akan diterima dengan beberapa syarat :


1. Iman
2. Ikhlas
3. Sesuai tuntunan syariat
4. Bersih dari hal-hal yang membatalkan amal, seperti riyâ, ujub dan lainnya.
Seseorang tidak tahu, apakah amalnya diterima atau tertolak.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata, Jika aku tahu shalatku diterima (oleh Allâh), maka aku benar-benar mengharapkan kematian, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa. [al-Mâidah/5:27]

  • Membaca al-Qurân pada acara kematian atau di depan jenazah atau di kuburan merupakan perkara baru dalam agama, sedangkan semua perkara baru dalam agama adalah bidah dan semua bidah adalah sesat. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bidah, dan semua bidah adalah sesat. [HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-Irbâdh bin Sâriyah]
Perbuatan tersebut tidak ada tuntunan dari Nabi, dari Khulafaur rasyidin, dari para sahabat, dari tabiin dan dari tabiut tabiin, sehingga hukumnya bidah dan sesat.

  • Kalau kita tahu bahwa hal itu bidah, maka pasti tidak ada pahalanya, sebaliknya yang ada adalah dosa. Jika demikian keadaannya, maka menghadiahkan pahala merupakan perkataan dan perbuatan sia-sia. Ini ibarat orang yang menggenggam tangannya yang kosong, lalu dia berkata kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, Ambillah!, padahal tangannya kosong.


  • Sesungguhnya semua orang sangat butuh kepada amalannya. Pada hari kiamat nanti, semua orang akan sangat mengkhawatirkan dirinya, akankah amalannya bisa menyelamatkannya?! Masing-masing akan lebih mementingkan dirinya daripada saudaranya atau ibunya atau bapaknya. Jika demikian, berarti orang yang menghadiahkan amalannya seakan dia sudah memastikan bahwa dirinya dijamin aman, tidak rugi dan seakan tidak butuh karunia Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. [Abasa/80:33-37]

Demikianlah uraian singkat tentang beberapa poin penting berkaitan dengan bacaan al-Qurân yang dihadiahkan pahalanya buat orang yang sudah meninggal. Ada sebagian orang yang berkilah bahwa apa yang dia lakukan itu adalah tradisi atau adat. Namun itu hanya alasan saja, karena yang menjadi tujuannya adalah pahala, sementara yang namanya tradisi atau adat, pelaksanaannya bukan untuk mencari pahala. Kalau tujuannya mencari pahala, berarti itu adalah ibadah. Dan ibadah harus sesuai dengan tuntunan syariat.

Semoga uraian singkat ini bisa bermanfaat dan menggugah kesadaran kita untuk lebih semangat dan waspada dalam melaksanakan ibadah.

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Catatan kaki kitab at-Tanbihatul Lathîfah Ala Ma Ihtawat alaihi al-aqidatul Wasithiyah, hlm. 34, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan, penerbit Dar Ibnil Qayyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar